IDEOLOGIMU ADALAH IDEOLOGIKU
PERJUANGANMU ADALAH PERJUANGANKU
YERITANMU ADALAH YERITANKU
TANGISANMU ADALAH TANGISANKU
PENDERITAANMU ADALAH PENDERITAANKU
SUARA RAKYAT PASTI AKAN MENANG
SEBAB SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN
We want to West Papua will be Free by New Colonial Indonesia, & we need full Independence,
PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT BELUM KOKOH:
PERJUANGAN MASIH PANJANG
Penulis Oleh:Wim Sambom.
Dear all in the our Land West Papua.
Para pejuang Papua Merdeka yang terhormat,
Ijinkan saya untuk memberikan sedikit pemikiran saya tentang perjuangan Papua Merdeka, terutama untuk menyikapi perkembangan terkini dalam debat-debat melalui mailinglist – kominitas Papua, PIF and satu kata lawan yang tidak konstruktif dalam menunjang perjuangan Papua Merdeka.
Saya mau katakan bahwa Perjuangan Papua belum kokoh. Jika Perjuangan Papua belum kokoh berarti perjuangan akan menjadi tambah panjang. Kalau perjuangan bertambah panjang berarti penderitaan rakyat akan terus berkepanjangan.
Ijinkan saya untuk memberikan sedikit pemikiran saya tentang perjuangan Papua Merdeka, terutama untuk menyikapi perkembangan terkini dalam debat-debat melalui mailinglist – kominitas Papua, PIF and satu kata lawan yang tidak konstruktif dalam menunjang perjuangan Papua Merdeka.
Saya mau katakan bahwa Perjuangan Papua belum kokoh. Jika Perjuangan Papua belum kokoh berarti perjuangan akan menjadi tambah panjang. Kalau perjuangan bertambah panjang berarti penderitaan rakyat akan terus berkepanjangan.
Sebab bagi pribadi saya sangat prihatin dengan kondisi realita yang terjadi dalam setiap interen Organ pergerakkan masing-masing ini, Karena yang ada dalam setiap Organ perjuangan adalah hanyalah egoisme dalam setiap masing-masing Ling pergerakkan, berdasarkan sikap Egonya masing-masing Organ, maka mekanisme dalam garis perjuanganpun berbeda dengan versi/kayanya masing-masing, jika sikap kami saja sperti demikian, bagaimana bisa mempersatukan Rakyat Papua Barat baik itu dari pesisir Pantai sampai ke Pegunungan, dengan demikian;Realitanya kami sendirilah yang menambah penderitaan Rakyat Papua Barat.
Masyarakat di tanah Papua ini terdiri dari beratus-ratus suku dalam penyebaran geografis yang beragam mulai dari pesisir pantai dan pulau, daerah rawa, pegunungan rendah sampai kepada yang menghuni daratan di pegunungan tinggi. Penyebaran budaya dan pola dan sistem berpikir juga berbeda karena adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda. Ini suatu keragaman yang luar biasa dan merupakan kekayaan yang patut dihargai. Tetapi kita harus sadar juga bahwa perbedaan ini bisa mendatangkan bencana bagi kita jika kita sendiri tidak paham dan mengerti keragaman yang ada.
Keragaman ini bisa menjadi kekuatan yang menakutkan lawan tetapi bisa menjadi musuh yang besar dalam kehidupan Papua karena kita sendiri tidak memahami kealamian suku-suku di Papua.
Seperti di suku Dani ikatan konfederasi antar sub-suku yang secara alami kecil itu sangat kuat. Hal ini dilakukan untuk keberlangsungan hidup di dalam sistem kehidupan suku Dani yang lebih besar. Sistem perang suku sebagai kontrol sosial dalam suku Dani adalah hal yang selalu dilakukan karena itu sistem konfederasi adalah satu pola yang dibangun untuk tujuan-tujuan tersebut. Sistem Pan (konfederasi) ini sudah dilakukan dan dipertahankan berabad-abad lamanya. Sehingga kalau ada permusuhan dan perang suku, ada konfederasi yang dapat mempertahankan keberadaan mereka. Saya pikir di daerah lain juga terdapat sistem yang paling tidak sama.
Dalam perjuangan modern Papua Merdeka ini, saya melihat kekuatan membangun suatu bentuk (Konfederasi) yang besar dalam konsep semangat Papua belum Kokoh terutama dalam tubuh kelompok-kelompok perjuangan sebagai pilar-pilar di lini depan perjuangan. Masing-masing kelompok masih mengedepankan kepentingan organisasi, idealisme dan sistem perjuangan dalam kelompoknya. Yang patut disesalkan adalah kecenderungan untuk saling menyalahkan satu sama lain. Kekokohan sebagai suatu sistem perjuangan terpadu dan konfederasi Papua yang lebih besar masih jauh dari keinginan masyarakat Papua yang mendambakan kebebasan. Padahal sistem terpadu dengan satu visi dan semangat yang sama patut dibangun meskipun dijalankan oleh kelompok-kelompok perjuangan yang ada.
Saya melihat bahwa kita masih butuh kerja keras untuk membangun konfederasi yang besar untuk melawan musuh yang lebih besar ini. Kalau sampai hari ini perjuangan ini belum berakhir atau belum ada tanda-tanda “kehidupan”, saya melihat bahwa bangsa penindas (baca: Indonesia) dan sekutu-sekutunya itu lebih memahami kelemahan kita dari pada kita sendiri memahami kekuatan dan potensi yang ada pada kita.
Oleh karena itu, jika perjuangan ini terus seperti begini dengan fondasi perjuangan Papua yang tidak kokoh, makan perjuangan itu akan selalu terasa panjang bagi masyarakat Papua. Sekarang tinggal bagaimana pilar-pilar perjuangan Merdeka memahami dan mau berubah. Jika tidak, “kita sendiri baku rebut dan bakalai dengan wam amok sampai mandi-mandi darah, tenaga habis, loyo trus amber dong duduk tertawa and bicara tong (uneducated, uncivilized, mase kolot, itu baru dong bilang mo berjuangan) sambil tunggu waktu yang pas untuk ajar baru bawa lari wam amok itu dari kita.” Kalau sudah demikian kitong terus menderita, anak-anak menderita, cucu-cucu menderita, sampai suatu saat dunia mengenang kita melalui koleksi foto dan tulang-belulang orang Papua di dalam museum-museum besar di dunia ini. Atau mungkin our wantok, ras Melanesia di PNG bercerita kepada anak cucunya bahwa dulu di bagian barat pulau New Guinea ada tong pu wantok yang dulu
hidup tapi skarang su punah, sama persis seperti orang Biak di Kepualauan Ayau, Raja Ampat menceritakan kisah orang Mapia yang pernah mendiami jajaran Kepualaun Ayau itu tetapi sekarang sudah punah. dan juga seperti orang Aborigin di Australia.
Mengenai mailinglist-mailinglist yang sekarang dipakai ini, saya melihatnya sebagai sarana informatif belaka. Karena itu hanya digunakan untuk kirim-kirim email dan baku marah antar orang Papua saja. Kitong belum memahami sarana-saran ini sebagai bagian untuk membangun persatuan nasional dan konsolidasi berbagai elemen perjuangan dan juga sebagai sarana untuk saling memberikan pemikiran yang konstruktif. Bisa saja, para lawan kita menggunakan sarana ini untuk duduk menganalisis situasi dan kondisi serta cara kita berpolemik untuk membangun strategi melawan kita. Saya yakin skali bahwa ini sedang terjadi. Kita terlalu mudah “pukul dada” untuk mengeluarkan semua kelemahan dan kekuatan kita di dalam sarana ini. Ingat bahwa bukan orang Papua saja yang bekerja untuk mengejar kemerdekaan, tetapi musuh juga sedang bekerja untuk meredam dan menghambat kemerdekaan yang kami cari ini.
Dalam perjuangan modern Papua Merdeka ini, saya melihat kekuatan membangun suatu bentuk (Konfederasi) yang besar dalam konsep semangat Papua belum Kokoh terutama dalam tubuh kelompok-kelompok perjuangan sebagai pilar-pilar di lini depan perjuangan. Masing-masing kelompok masih mengedepankan kepentingan organisasi, idealisme dan sistem perjuangan dalam kelompoknya. Yang patut disesalkan adalah kecenderungan untuk saling menyalahkan satu sama lain. Kekokohan sebagai suatu sistem perjuangan terpadu dan konfederasi Papua yang lebih besar masih jauh dari keinginan masyarakat Papua yang mendambakan kebebasan. Padahal sistem terpadu dengan satu visi dan semangat yang sama patut dibangun meskipun dijalankan oleh kelompok-kelompok perjuangan yang ada.
Saya melihat bahwa kita masih butuh kerja keras untuk membangun konfederasi yang besar untuk melawan musuh yang lebih besar ini. Kalau sampai hari ini perjuangan ini belum berakhir atau belum ada tanda-tanda “kehidupan”, saya melihat bahwa bangsa penindas (baca: Indonesia) dan sekutu-sekutunya itu lebih memahami kelemahan kita dari pada kita sendiri memahami kekuatan dan potensi yang ada pada kita.
Oleh karena itu, jika perjuangan ini terus seperti begini dengan fondasi perjuangan Papua yang tidak kokoh, makan perjuangan itu akan selalu terasa panjang bagi masyarakat Papua. Sekarang tinggal bagaimana pilar-pilar perjuangan Merdeka memahami dan mau berubah. Jika tidak, “kita sendiri baku rebut dan bakalai dengan wam amok sampai mandi-mandi darah, tenaga habis, loyo trus amber dong duduk tertawa and bicara tong (uneducated, uncivilized, mase kolot, itu baru dong bilang mo berjuangan) sambil tunggu waktu yang pas untuk ajar baru bawa lari wam amok itu dari kita.” Kalau sudah demikian kitong terus menderita, anak-anak menderita, cucu-cucu menderita, sampai suatu saat dunia mengenang kita melalui koleksi foto dan tulang-belulang orang Papua di dalam museum-museum besar di dunia ini. Atau mungkin our wantok, ras Melanesia di PNG bercerita kepada anak cucunya bahwa dulu di bagian barat pulau New Guinea ada tong pu wantok yang dulu
hidup tapi skarang su punah, sama persis seperti orang Biak di Kepualauan Ayau, Raja Ampat menceritakan kisah orang Mapia yang pernah mendiami jajaran Kepualaun Ayau itu tetapi sekarang sudah punah. dan juga seperti orang Aborigin di Australia.
Mengenai mailinglist-mailinglist yang sekarang dipakai ini, saya melihatnya sebagai sarana informatif belaka. Karena itu hanya digunakan untuk kirim-kirim email dan baku marah antar orang Papua saja. Kitong belum memahami sarana-saran ini sebagai bagian untuk membangun persatuan nasional dan konsolidasi berbagai elemen perjuangan dan juga sebagai sarana untuk saling memberikan pemikiran yang konstruktif. Bisa saja, para lawan kita menggunakan sarana ini untuk duduk menganalisis situasi dan kondisi serta cara kita berpolemik untuk membangun strategi melawan kita. Saya yakin skali bahwa ini sedang terjadi. Kita terlalu mudah “pukul dada” untuk mengeluarkan semua kelemahan dan kekuatan kita di dalam sarana ini. Ingat bahwa bukan orang Papua saja yang bekerja untuk mengejar kemerdekaan, tetapi musuh juga sedang bekerja untuk meredam dan menghambat kemerdekaan yang kami cari ini.
Inti dari catatan saya ini adalah persatuan nasional bangsa Papua itu lebih penting dari kepentingan kelompok-kelompok perjuangan yang ada sekarang. Karena dengan persatuan yang kokoh, perjuangan Papua merdeka untuk membebaskan diri dari penjajahan bisa berhasil. Kenapa kami punya masyarakat yang kami bilang tradisional dulu bisa membangun konfederasi-konfederasi yang kokoh untuk menghadapi musuh mereka waktu itu, baru kami yang sudah punya pendidikan tinggi, modern, mengangkat diri sebagai pemimpin dan pejuangan tidak dapat membangun persatuan bangsa Papua yang kokoh seperti kami punya nenek moyang mereka dulu. Kembalilah dan belajar kepada kami punya tradisi di Papua.
Demikian sedikit pikiran dari saya. Semoga suatu saat kami memahami arti persatuan nasional ini dan persatuan itu dapat diwujudkan.
Dear All in the Our Land West Papua, I'm say congratulation to You, & i beleave and beleave our Lord love to you becouse many Problem in our life but all ready Jesus Know, becouse it We always Greatiful for Our God, and we must pray to God, becouse i beleave, Jesus will help to us, if we always pray to the Lord, i know sometime we never pray to Her, but everytime, everyhour, every year Jesus don't forget to us, but Jesus always remember to us, becouse it we must pray to God & we must Greatiful to the Lord.
Tkank's for Everyone
Bucthar.Tabuni Political of Prisoner
Bucthar Tabuni political Prisoner, now he stay in the Indonesia Prisoner of Abepura
He is good man, he fight for Freedom West Papua with everyone West Papua, and he asking freedom West Papua to Indonesia Coverment and every nation in the World, he always making Demonstration with everybody West Papua People.
KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT [KNPB]
West Papua National Committee
papuaemergency@yahoo.com | 081248653994
==========================================================
West Papua National Committee
papuaemergency@yahoo.com | 081248653994
==========================================================
SIKAP RAKYAT PAPUA UNTUK OBAMA
AS dan Indonesia harus bertanggung Jawab atas Berbagai kejahatan Kemanusiaan terhadap Rakyat Papua Barat.
Kunjungan Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama di Indonesia harus mengangkat persoalan bangsa Papua Barat. Presiden Obama tidak boleh menganggap sepeleh dan tutup mata terhadap masalah Papua Barat. Kami rakyat Papua Barat meyakini bahwa segala penindasan dan penghisapan diatas tanah Papua adalah hasil kompromi ekonomi politik Amerika Serikat dan Indonesia.
Kami yakin bahwa Amerika Serikat dan Indonesia adalah pelaku penindasan dan penghisapan di Papua Barat, karena:
1. AS telah menyerahkan Papua Barat ke tangan penjajahan Indonesia
Kami rakyat Papua Barat telah menyaksikan suatu perbuatan yang sangat melanggar standar-standar dan prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional dalam proses aneksasi bangsa Papua Barat ke tangan Indonesia, dimana AS berperan penting dalam mendalangi perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962 dan Rome Agreement 30 September 1962 yang sangat tidak sesuai dengan hukum internasional, tidak melibatkan orang Papua Barat dan penuh dengan kepentingan ekonomi politik antara Amerika Serikat dan Indonesia. Sejak Amerika Serikat berperan dalam menyerahkan Papua ke tangan Indonesia, maka disitulah awal pelanggaran HAM di Papua sampai saat ini.
2. Amerika Serikat dan Indonesia mencuri Emas, tembaga, perak dan uranium dari Papua Barat.
Kami meyakini bahwa pada tahun 1966 sebuah delegasi dari Freeport mengunjungi Jakarta guna mengadakan pembicaraan pendahuluan bagi hak penambangan tembaga/emas di West Papua, dengan pihak pemerintah Indonesia . Dari hasil pertemuan tersebut, maka pada tanggal 10 Januari 1967 ditanda tangani Kontrak Karya tanpa melibatkan orang Papua Barat sebagai pemiliknya. Persenkongkolan kepentingan antara Pemerintah Amerika dan Indonesia ini akhirnya menghorbankan hak-hak rakyat West Papua pada pelaksanaan Act Of Free Choice tahun 1969. Dan sejak saat itu Pemerintah AS dan Indonesia menucuri Emas, tembaga, perak dan uranium dari Papua Barat tanpa ijin orang Papua dan membunuh orang Papua disekitar areal Freeport dan menghancurkan lingkungan dan ekosistem di areal perusahaan Freeport.
3. Kerja sama Densus 88, TNI dan Amerika Serikat
Kami meyakini bahwa kerja sama militer antara Indonesia dan AS telah berdampak pada penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyat Papua Barat. Kami tahu bahwa pasukan Densus 88 yang telah membunuh Kelly Kwalik (pemimpin perjuangan bangsa Papua) di Timika tidak terlepasa dari AS, karena pasukan khusu s ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik (Diplomatic Security Service) Departemen Negara AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA, FBI, dan U.S. Secret Service. Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS. Pasukan ini telah berada di kota-kota dan kampong-kampung di seluruh wilayah Papua Barat dan memperlakukan orang Papua seperti terrorist yang harus dibasmikan.
Pemerintahan Amerika Serikat dan Indonesia juga melakukan kerja sama militer melalui pelatihan militer Kopassus dan TNI dimana TNI dan Kopassus terus melakukan pelanggaran HAM di Papua. Mereka terus menyiksa dan membunuh rakyat Papua. Contoh nyata adalah penyiksaan di Puncak Jaya oleh TNI baru-baru ini yang terekam dalam video.
4. Derita dibalik Otsus
Kami tahu bahwa saat ini pemerintah Amerika Serikat mendukung Indonesia agar melaksanakan Otonomi Khusus bagi bangsa Papua Barat. Tetapi, kami menyatakan bahwa orang Papua Barat tidak pernah meminta Otonomi Khusus. Tetapi kami hanya ingin berdaulat sendiri sebagai suatu Negara yang merdeka sendiri. Kami mengalami kondisi krisis di masa Otonomi khusus, karena dengan Otsus peradaban kami orang Papua dihancurkan dengan segala kenikmatan semu dalam uang Otsus, korupsi meraja lela, iri hati, saling membenci, perpecahan antar suku dan pendatang dari luar Papua meraup keuntungan dari uang Otsus dan rakyat Papua Barat tetap miskin dan tidak menikmati pembangunan yang bermartabat melalui Otsus. Ini bukan salah kami, tapi pemerintah Indonesia yang tidak punya niat baik terhadap orang Papua, karean tujuan mereka hanya satu: memusnahkan kami orang Papua Barat dan menguasai wilayah Papua Barat.
Oleh karena itu, kami menyatakan bahwa negara manapun yang mendukung Otonomi Khusus di Papua adalah pelaku penindasan dan penghisapan di Papua Barat.
Dengan demikian kami segenap rakyat Papua Barat menuntut kepada Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama agar:
1. Segera bertanggung jawab terhadap status politik Papua dengan mereview kembali proses aneksasi Papua Barat kedalam NKRI.
2. Mendorong proses hukum ke pengadilan Internasional (ICJ) tentang status hukum Papua Barat dalam NKRI.
3. Mendesak Indonesia agar mengadakan suatu mekanisme penyelesaian konflik politik Papua Barat melalui referendum sebagai suatu jalur yang damai dan demokratis.
4. Menghentikan kerja sama militer AS dan Indonesia yang menjadi biang pelanggaran HAM di Papua Barat.
5. Hentikan kebijakan AS yang mendukung Indonesia melalui pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Papua Barat, karena itu bukan solusi bagi penyelesaian masalah Papua.
Demikian pernyataan ini kami buat bagi penegakan HAM dan Demokrasi yang kita junjung bersama-sama,
Port Numbay, Papua Barat 6 November 2010
Hormat kami,
Atas nama rakyat Papua
Buchtar Tabuni
Ketua Umum KNPB
Tembusan yth:
1. Presiden Republik Indonesia di Jakarta
2. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta
3. Kongresman Amerika Serikat di Washington
4. International Lawyers for West Papua [ILWP] di London
5. International Parliamentarians for West Papua di London
Seby Sambom Political Prisoner in the Doyo Sentani Papua, he is my Brother.the Indonesia Coverment, and police they very afraid to her, becouse it, Indonesia Police in come prisoner Doyo, becouse everyone in the World they are know about to Mr.Seby and too they're after know about all her activities, Seby always fight for freedom, with West Papua Nation, and too special with all activist West Papua in the Our Land West Papua.
AKAR PERSOALAN TERJADINYA KONFLIK DI PAPUA DAN PERJUANGAN RAKYAT PAPUA BARAT DI SEBABKAN KARENA
A . Akar Masalah
Integrasi Papua tahun 1962, rekayasa kepentingan Belanda Amerika Serikat PBB dan Indonesia ,tanpa mekanisme Hukum Internasional yang di sebut, one man one vote (satu orang satu suara). Namun hal tersebut tidak terlaksana di saat itu, sedangkan PT Freeport-Indonesia McMoRan Copper & Gold Inc, masuk tahun 1967, sebelum status Papua resmi masuk ke Colonial Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Selama 45 tahun integrasi tidak membawa kemajuan bangsa Papua.
Dewasa ini, ada gejala proses genosida (punahisasi) etnis Papua secara terselubung (HIV/AIDS, terjadi melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi antara rakyat dengan pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008). Sebab proses integrasi penuh rekayasa dan manipulasi antara Indonesia dan Amerika (baca: John F Kennedy dan Soekarno).
Diawali dialog pertemuan 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal (kini ketua PDP) dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:
1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;
2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan dan terror;
4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 46 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.
Memang ada sesuatu benar dari Gus-Dur, hal-hal simbolik bukan essensi bernilai cultural Papua harus dihargai karena keunikannya, tetap dibiarkan oleh negara, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memakainya, sekarang dianggap haram dan subversip.
UU karet tentang terorisme siap membungkam dengan alasan terorisme, kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan halal memukul anak-anak mahasiswa Papua sampai mati di penjara. UUD pasal karet terorisme, menjadikan halal, membunuh, menangkap dan menyiksa, siapa saja orang Papua. Di Papua selalu saja ada darah, air mata, Yeritan, tanpa pernah kita tahu kapan berakhir.
D. Otsus Bukan Solusi
Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi TPN/OPM di rimba raya Papua, bagi mereka Otsus Papua sama sekali bukan solusi. TPN/OPM jelas, bagi mereka, Papua Merdeka harga merupakan harga diri bagi rakyat Papua Barat,sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI.
Sejak Otsus diterima Presedium Dewan Papua (PDP) dengan syarat, maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu hanya bisa diketahui Gus-Dur yang tidak di pahami oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, malah lebih tidak dimengerti aparat militer Indonesia di Papua.
Dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali. Semua usaha pemerintah seakan tidak mempan untuk meredam keinginan aspirasi “M” (merdeka) Papua. Terbukti dengan limpahan sekian banyak dana trilyunan belum mampu meredam aksi separatisme Papua. Alasannya dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat dapat diharapkan meredam anasir separatisme. Memang dana trilyunan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi bagi negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport.
Kenyataannya sekarang memang benar diera Otsus Papua banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka lepas dari NKRI. Sampai saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi?
Harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua. Hanya PDP menerima tapi dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog. Tapi tidak pernah ditaati pemerintah pusat. Karena itu wajar akibatnya kalau kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua.
Solusi Papua : Dialog !
Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditampik Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walaupun harus diakui bahwa kelompok kompromistis ini, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pemerintah pusat.
Tidak ada perundingan Papua dan Indonesia melalui pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri bukan dialog TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari terjadi dialog. Selama ini hanya pertemuan elit yang dilakukan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua. Padahal yang harus diajak berkompromi seharusnya TPN/OPM. Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya.
Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sungguhan tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.
Sejauh ini terkesan pemerintah pusat tidak secara serius dan konsisten melaksanak Otsus Papua. Misalnya honor MRP yang tidak dibayar selama beberapa bulan, sekian banyak rekomendasi MRP yang tidak ditanggapi pemerintah. Padahal pembentukan MRP dan pengesahan melalui UU dan sahkan sendiri oleh SBY. Tapi barang yang disahkan pemerintah sendiri melalui UU tidak jelas gaji anggota MRP darimana mau diambilaknnya.
Bahkan bagi aktifis Papua menganggap bahwa sekarang ini MRP bukan lagi lambang cultural rakyat Papua Barat. MRP sekarang ini tidak lebih hanya superbody pemerintahan colonial yang sebelumnya di era Gus-Dur, MRP mau difungsikan benar-benar sebagai lambang cultural karena disana ada keterwakilan semua suku dan budaya Papua seperti unsur perempuan, agama, dan golongan yang mencirikan pluralitas semua suku masyarakat Papua.
TPN/OPM tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua pemerintah selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka. Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.
Dugaan pemerintah pusat Otsus Papua dapat meredam anasir separatisme. Tapi Otsus sesungguhnya hanya punya potensi menimalisir bukan solusi final. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian selamanya, jika penyelesaian konflik, tanpa penegakan hukum dan HAM, maka perang antara TNI/POLRI versus TPN/OPM tetap akan terjadi selamanya. Demikian juga kalau penyelesaian tanpa pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya TPN/OPM. Akhirnya harapan utopia” Papua Zona Damai” hanya live service belaka para tokoh Agama Papua dan TNI/POLRI.
Sebab selama ini yang duduk berunding hanya beberapa orang kelompok pro Jakarta, tanpa melibatkan tokoh intelektual Papua dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Mereka eksis mempertahankan idealisme, konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, HAM dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai".
Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong. Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia.
Selama tuntutan mereka belum dipenuhi sepanjang jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan. Bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.
Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran HAM, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis. Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu meneriakkan yel-yel perjuangan sambil mengangkat issu-issu relevant.dan juga seluruh Rakyat Bangsa Papua Barat Bukan Mengiginkan dialog Jakarta Papua lagi, sekarang Rakyat Papua Barat telah mengetahui Permainan NKRI maka rakyat Papua Barat tuntut Dialog Segitiga, sebab dialog segitigalah yang mampu mengunkap semua pelanggaran HAM yang yerjadi di Tanah Papua Barat.
Suara Rakyat adalah suara Tuhan
salam Juang kepada seluruh patriot Bangsa Papua Barat.
sebab perjuanganmu adalah perjuanganku....
yeritanmu adalah yeritanku....
tangisanmu adalah tangisanku...
penderitaanmu adalah penderitaanku...
By................

WHEN WE WAS MAKE DEMONTRATION IN THE YOGYAKARTA
AT THIS TIME INTROGRATION BY POLICE TO ME



Tidak ada komentar:
Posting Komentar