Kamis, 28 April 2011

I'm being no love from parents, i am hungry but there is no food, i am need hug from my parents but there is no hug, but i just can have tears, hurt, and no love only that i have in my heart... i need support and prayer from you guys,,, God Bless

Rabu, 27 April 2011

Demo Free West Papua Campaign in front of Indonesia Embassy on April 2011 London


FWPC Video News:

Demo in front of the Indonesia Embassy in London at 14 April 2011.
If you want to watch please click links here:

Rabu, 20 April 2011

Amnesty Internasional khawatirkan nasib Buchtar Tabuni

Amnesty Internasional khawatirkan nasib Buchtar Tabuni


http://bisnis.s3.amazonaws.com/bisnis/images/stories/penjara.jpgJAKARTA: Amnesty International (AI) mengingatkan kemungkinan terjadinya kembali penyiksaan terhadap tahanan politik Papua Buchtar Tabuni terkait dengan pemindahan aktivis itu ke sel isolasi pada 7 Januari 2011 tanpa alasan yang jelas.


Josef Roy Benedict, pengkampanye Indonesia & Timor-Leste AI, mengatakan Buchtar sendiri tak diberikan alasan oleh Polda Papua tentang pemindahan tersebut. Padahal, sambung Benedict, Buchtar sangat mengkhawatirkan keselamatannya dan kemungkinan paksaan untuk memberikan pengakuan.

"Dia punya ketakutan tentang keselamatan dan kemungkinan dipaksa untuk pengakuan," ujar Benedict dalam siaran pers. "Dia juga punya masalah dengan lambung."

AI sebelumnya mencatat sejumlah penyiksaan terhadap beberapa aktivis politik  di Indonesia oleh polisi saat melakukan penangkapan, penahanan dan interogasi. Padahal, organisasi itu menyatakan Indonesia adalah pihak yang masuk dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam perjanjian itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mengemukakan alasan penangkapan beserta sangkaan, diperlakukan secara baik sebelum ke pengadilan dan memiliki kesempatan untuk membela diri.

Buchtar ditahan pada Oktober 2008 karena ikut mengatur demonstrasi mendukung International Parliamentarians for West Papua (IPWP), sebuah koalisi anggota parlemen yang menyokong hak determinasi sendiri bagi Papua. Akhirnya dia divonis 3 tahun untuk tuduhan penghasutan rasa benci  terhadap pemerintah Indonesia. Pada 3 Desember 2010,  Buchtar dipindahkan dari penjara Abepura ke Polda Papua karena diduga terlibat dalam kerusuhan tahanan di penjara Abepura.

AI meminta agar warga sipil menuliskan surat ke Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar dan Kapolda Papua Irjen Bekto Suprapto sebelum 23 Februari 2010 agar  Buchtar segera dipindahkan dari kurungan isolasi itu. Selain itu, mendesak agar adanya  jaminan bahwa dia tidak akan disiksa atau disakiti selama dalam tahanan.

"Kami juga meminta agar pemerintah memastikan semua penahanan dan prosedur judisial patuh dengan kewajiban Indonesia sesuai dengan  ICCPR," ujar Benedict. (msw)

http://www.bisnis.com/index.php/umum/politik/6459-amnesty-internasional-khawatirkan-nasib-bucthar-tabuni

--

Think Revolution, Revolution Thinker
---------------------------------------------------
               West Papua

Senin, 18 April 2011

KEHADIRAN PT.FREEPORT INDONESIA MEMBAWA SUATU BENCANA BAGI RAKYAT PAPUA BARAT,TERUTAMA BAGI MASYARAKAT LOKAL AMUGME DI TIMIKA PAPUA





BAB 1
PENDAHULUAN
A.1 Latar Belakang
PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya milik Freeport-McMoran Copper& Gold Inc. perusahaan Freeport adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia, perusahaan inu merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di Papua di dua tempat yaitu tambang Erstberg dari tahun 1967 dan tambang Grasberg pada tahun 1988 tepatnya dikawasan tembaga pura, kabupaten Mimika, provensi Papua.
PT. Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS dan keberadaannya memberikan manfaat langung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992-2004. Harga emas yang mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintahan sebesar 1 miliar dolar.
PT. Freeport telah mengetahui bahwa tanah di daerah Mimika Papua memiliki potensi besar ada pertambangan emas terbesar di dunia sehingga PT. Freeport mulai memasuki daerah Mimika pada tahun 1967 dengan membuka lahan awalnya di Erstberg dan di tempat tersebut masih ada warga asli dan harus di pindahkan ke kaki pengunungan. Penambangan emas, tembaga, perak dan sebagainya secara langsung merusak alam daerah Papua dengan limbahnya yang mencemari sungai-sungai yang dipakai oleh penduduk setempat bahkan kehidupan penduduk asli yang bertempat tinggal di sekitar PT. Freeport tidak mendapatkan kehidupan yang layak.
A.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
Apakah ada kaitannya dengan analisis geografi dan spasial terhadap berdirinya perusahaan PT Freeport Indonesia di daerah Mimika Papua?
A.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui dan menjawab rumusan masalah dengan ada kaitanya dengan menganalisis geografi dan spasial daerah Mimika Papua yang dijadikan tempat berdirinya perusahaan Freeport Indonesia.
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 Analisis geografi dan spasial tentang sejarah daerah Mimika dan munculnya PT.Freeport
Masyarakat Papua mempercayai suatu mitologi tentang manusia sejati yang berasal dari sebuah Ibu yang kematiannya berubah menjadi tanah membentang sepanjang daerah Amungsal dan daerah ini di anggap kerambat oleh masyarakat setempat sehingga secara adat tidak di ijinkan untuk dimasuki tetapi pada tahun 1967 Freeport Indonesia memasuki daerah keramat ini dan membuka pertambang dengan mengeksplorasi di daerah Erstberg dan sejak tahun 1967 suku asli Amugme dipindahkan ke luar wilayah yang suku ini tempati ke wilayah kaki pegunungan. Penambangan Erstberg ini habis pengeksplorasi pada tahun 1989 dan dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan oleh Mentamben Ginandjar Kartassmita pada tahun 1996 serta tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu/ton/hari.
2.2 Cadangan pertambangan di daerah Mimika Papua
Di tinjau dari tubuh-tubuh bijih
Tubuh-tubuh bijih kami terdapat pada dan di sekitar dua tubuh-tubuh instrusi utama batuan beku (igneous), yaitu monzodiorit Grasberg dan diorit Ertsberg. Batuan-batuan induk untuk tubuh-tubuh bijih tersebut terdiri dari batuan-batuan karbonatan maupun klastik yang diterobos oleh batuan beku berkomposisi monzonitik dan dioritik yang membentuk punggungan bukit dan sisi atas rangkaian Pegunungan Sudirman.
Tubuh-tubuh bijih Grasberg dan ESZ, terdapat pada batuan beku sebagai batuan induk, hadir dalam bentuk urat-urat (vein stockworks) dan diseminasi sulfida tembaga yang didominasi oleh mineral chalcopirit dan sejumlah kecil berupa bornit. Tubuh-tubuh bijih yang berinduk pada batuan sedimen terjadi pada batuan ubahan skarn yang kaya akan unsur magnetit dan magnesium serta kalsium, yang mana lokasi keterdapatannya dan orientasinya sangat dikontrol oleh patahan-patahan besar (major faults) dan oleh komposisi kimia batuan-batuan karbonat di sekitar tubuh-tubuh instrusi tersebut. Mineralisasi tembaga pada batuan ubahan skarn tersebut didominasi oleh mineral chalcopirit, akan tetapi konsentrasi setempat dari mineral sulfida bornit yang cukup banyak juga kadang terjadi. Mineral emas terdapat secara merata disemua tubuh bijih dalam jumlah yang beragam. Di beberapa tempat konsentrasinya cukup banyak, kehadirannya jarang bisa dilihat dengan mata telanjang. Konsentrasi emas tersebut lazim terjadi sebagai inklusi di dalam mineral sulfida tembaga, sedangkan pada beberapa tubuh bijih konsentrasi emas berkaitan erat dengan keterdapatan mineral pirit.
2.3 Pertumbuhan pertambangan PT Freeport Indonesia
Tembaga Emas
*Produksi 100% sejak penemuan Grasberg pada tahun 1988
2.4 Akibat pertambangan di daerah Mimika Papua Indonesia
Berdirinya PT. Freeport banyak memberikan dampak di daerah Mimika Papua karena menurut Tim Investigasi Kementerian Lingkungan Hidup menemukkan adanya indikasi awal adanya pencemaran lingkungan di wilayah kerja pertambangan PT. Freeport Indonesia yaitu ada limbah yang mencemari lingkungan dari pertambangan emas dan tembaga. Limbah-limbah tersebut mencemari sungai-sungai dekat pertambangan sehingga penduduk asli kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Menurut Perhitungan PT. Freeport bahwa penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/ bahan buangan sebesar kira-kira 6 Miliar ton lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat terusan panama. Kebanyakan limbah itu dibuang di pengunungan di sekitar lokasi pertambangan atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.
Sebuah penelitian yang bernilai jutaan dolar pada tahun 2002 yang dilakukan oleh Parametrix yaitu perusahaan konsultan Amerika yang dibayar oleh Freeport serta Rio Tinto yang merupakan mitra bisnis PT Freeport tidak pernah mengumumkan hasil penelitian di daerah PT Freeport bahwa bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang hanya cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan, semua permintaan itu ditolak.
Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada 1990-an.Bahan tambang yang dihasilkan oleh PT. Freeport Indonesia adalah emas, tembaga, silver, Molybdenum, Rhenium dan selama ini hasil bahan yang di tambang tidak jelas kerena hasil tambang tersebut di angkut dengan kapal ke luar Indonesia untuk di murnikan sedangkan Molybdenum dan Rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.
Pemerintah Kabupaten Mmika Papua sangat mendukung terbentuknya asosiasi daerah penghasil tambang seluruh Indonesia sebagai wadah atau tempat untuk saling tukar Informasi.Kepala Dinas Pendapatan Daerah Mimika, Petrus Yumte kepada Antara di Timika, Minggu mengatakan, keberadaan asosiasi daerah penghasil tambang sangat penting guna memperjuangkan hak-hak daerah atas eksploitasi sumber daya alam yang selama ini sebagaian masih dibayar kepada pemerintahan pusat yang ada di Jakarta.
Menurut Yumte, dalam rapat perdana daerah penghasil tambang yang akan berlangsung di Bali 11-12 Desember mendatang, Mimika akan mendorong adanya pelimpahan kewenangan atas Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan lainnya dari pusat ke daerah.
Yumte mengatakan bahwa ada sedikitnya 30 kabupaten/kota yang ada di Indonesia yang memiliki potensi daerah penghasil barang tambang yang sangat berguna bagi kejahteraan daerahnya.
Daerah sudah menyatakan siap bergabung dalam wadah asosiasi penghasil tambang seperti Kabupaten Sumbawa Barat serta Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mimika merupakan salah satu daerah penghasil tambang yang memberikan kontribusi besar kepada pemerintah melalui eksploitasi emas, tembaga dan perak yang sudah dilakukan oleh PT Freeport Indonesia.//
BAB 111
PENUTUP
KESIMPULAN
Mimika merupakan daerah yang berada di pulau Papua yang memilih tanah yang menghasilkan barang tambang yang begitu kaya sehingga menarik PT. Freeport untuk mendirikan perusahaanya di pulau Papua. Barang tambang yang di hasilkan berupa tambang emas, tembaga, silver, Molybdenum dan Rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga. PT Feeport Indonesia merupakan perusahaan tambang emas terbesar di dunia serta merupakan penyumbang dana terbesar bagi bangsa Indonesia. Tanah di Pulau sangat berpotensial memiliki kekayaan tambang terbesar di dunia apalagi banyaknya pengunungan yang ada di pulau Papua tersebut.
Pertambangan yang dilakukan PT. Freeport Indonesia banyak menimbulkan permasalahan lingkungan yaitu limbah pertambangan yang dibuang di kaki pengunungan dan di sana terdapat sungai dan kehidupan alam lainnya sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan di daerah sungai, penduduk setempat kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini juga berkaitan dengan geografi pulau Papua yang banyak terdapat bebatuan dan pegunungan sehingga banyak menghasilkana barang tambang.
Jadi ada kaitannya dengan menganalisis geografi dan spasial daerah Mimika di pulau Papua dengan berdirinya PT.Freeport yang merupakan perusahaan tambang emas terbesar di dunia dari hasil mengeksplorasi atau mengali kekayaan di Pulau Papua.


PT.FREEPORT INDONESIA HARUS SEGERA DI TUTUP
SEBAB PT.FREEPORT INDONESIA TIDAK MEMBAWA SUATU KEBERUNTUNGAN
BAGI RAKYAT PAPUA BARAT TERUTAMA BAGI PENDUDUK
LOKAL AMUGME.  MULAI OPERASI
PERTAMBANGAN EMAS  SAMPAI SAAT INI.

MALAH KEHADIRAN PT.PREEPORT INDONESIA MEBAWA SUATU
BENCANA YANG DASYAT BAGI RAKYAT PAPUA BARAT.

MAKA RAKYAT PAPUA BARAT MEMINTA AGAR PT.FREEPORT
INDONESIA SEGERA DI BERHETIKAN DARI
EKSPLOITASINYA TAMBANG EMAS
DARI TANAH ADAT AMUGME.

SEBAB AGAR PERSOLAN TERJADINYA KONFLIK
DI PAPUA ADALAH BIANGNYA FREEPORT



Sejarah Kelam Tambang Freeport (1)

 

 

 


Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
***

Latar Belakang
Aktivitas pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m. Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.
Permasalahan
Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang didalamnya termasuk 50% cadangan emas di kepulauan Indonesia. Namun, sebagai hasil eksploitasi potensi tambang tersebut, hanya sebagian kecil pendapatan yang yang masuk ke kas negara dibandingkan dengan miliaran US$ keuntungan yang diperoleh Freeport. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan, namun berkontribusi sangat besar pada perkembangan perusahaan asing tersebut.
Pada tahun 1995 Freeport baru secara’resmi mengakui menambang emas di Papua. Sebelumnya sejak tahun 1973 hingga tahun 1994, Freeport mengaku hanya sebagai penambang tembaga. Jumlah volume emas yang ditambang selama 21 tahun tersebut tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia Kerja Freeport dan beberapa anggota DPR RI Komisi VII pun mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Mereka mencurigai jumlahnya lebih dari yang diperkirakan sebesar 2,16 hingga 2,5 miliar ton emas. DPR juga tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport. Anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Dirjen Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Di sisi lain, pemiskinan juga berlangsung di wilayah Mimika, yang penghasilannya hanya sekitar $132/tahun, pada tahun 2005. Kesejahteraan penduduk Papua tak secara otomatis terkerek naik dengan kehadiran Freeport yang ada di wilayah mereka tinggal. Di wilayah operasi Freeport, sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan dan terpaksa hidup mengais emas yang tersisa dari limbah Freeport. Selain permasalahan kesenjangan ekonomi, aktivitas pertambangan Freeport juga merusak lingkungan secara masif serta menimbulkan pelanggaran HAM.
Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS dan jumlah tertinggi penderita HIV/AIDS berada di Papua. Keberadaan Freeport juga menyisakan persoalan pelanggaran HAM yang terkait dengan tindakan aparat keamanan Indonesia di masa lalu dan kini. Ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggaran HAM yang ditindaklanjuti serius oleh pemerintah bahkan terkesan diabaikan.
Pemiskinan di Papua
Kegiatan penambangan dan ekonomi Freeport telah mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut namun tidak bagi masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan. Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia. Pendapatan utama Freeport adalah dari operasi tambangnya di Indonesia (sekitar 60%, Investor Daily, 10 Agustus 2009). Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas. Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang Jakarta hingga Surabaya (sepanjang 700 km).
Para petinggi Freeport mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Di sisi lain, negara pun mengalami kerugian karena keuntungan Freeport yang masuk ke kas negara sangatlah kecil jika dibandingkan keuntungan total yang dinikmati Freeport.
Keberadaan Freeport tidak banyak berkontribusi bagi masyarakat Papua, bahkan pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di Papua dapat dilihat dari buruknya angka kesejahteraan manusia di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika, lokasi di mana Freeport berada, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada tahun 2002, BPS mencatat sekitar 41 persen penduduk Papua dalam kondisi miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Pada tahun 2005, Kemiskinan rakyat di Provinsi Papua, yang mencapai 80,07% atau 1,5 juta penduduk.
Hampir seluruh penduduk miskin Papua adalah warga asli Papua. Jadi penduduk asli Papua yang miskin adalah lebih dari 66% dan umumnya tinggal di pegunungan tengah, wilayah Kontrak Karya Frepoort. Kepala Biro Pusat Statistik propinsi Papua JA Djarot Soesanto, merelease data kemiskinan tahun 2006, bahwa setengah penduduk Papua miskin (47,99 %).
Di sisi lain, pendapatan pemerintah daerah Papua demikian bergantung pada sektor pertambangan. Sejak tahun 1975-2002 sebanyak 50% lebih PDRB Papua berasal dari pembayaran pajak, royalti dan bagi hasil sumberdaya alam tidak terbarukan, termasuk perusahaan migas. Artinya ketergantungan pendapatan daerah dari sektor ekstraktif akan menciptakan ketergantungan dan kerapuhan yang kronik bagi wilayah Papua.
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Papua Barat memang menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesi pada tahun 2005. Namun Indeks Pembangunan Manusi (IPM) Papua, yang diekspresikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita karena masalah-masalah kekurangan gizi berada di urutan ke-29. Lebih parah lagi, kantong-kantong kemiskinan tersebut berada di kawasan konsesi pertambangan Freeport.
Selain itu, situs tambang Freeport di puncak gunung berada pada ketinggian 4.270 meter, suhu terendah mencapai 2 derajat Celcius. Kilang pemrosesan berada pada ketinggian 3.000 m, curah hujan tahuan di daerah tersebut 4.000-5.000 mm, sedangkan kaki bukit menerima curah hujan tahunan lebih tinggi, 12.100 mm dan suhu berkisar 18-30 derajat Celcius. Dengan kondisi alam seperti ini, kawasan di bawah areal pertambangan Freeport mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana tanah longsor. Pada 9 Oktober 2003, terjadi longsor di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, menewaskan 13 orang karyawan Freeport. Walhi merelease longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Padahal, mereka mengetahui lokasi penambangan Grasberg adalah daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan. Jebolnya dam penampungan tailing di Danau Wanagon pada tahun 2000, menyebabkan tewasnya empat pekerja sub-kontraktor Freeport. Terjadi longsor di lokasi pertambangan Grasberg pada Kamis, 9 Oktober 2003.
Kronologi Sosial-Ekonomi
Kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua selama ini, tak hanya mencetak keuntungan finansial bagi perusahaan tersebut tetapi juga memantik munculnya masalah sosial. Belum ada solusi yang dianggap efektif dalam penyelesaian masalah yang muncul itu dan sewaktu-waktu berpotensi untuk meletup. Berikut disampaikan kronologi aspek sosial-ekonomi operasi Freeport:
16 Februari 1623.
Kapten Jan Carstensz, seorang pelaut Belanda, melihat puncak gunung tertinggi di Irian, lalu mencatat dalam log book-nya. Inilah catatan pertama orang asing tentang Puncak Carstenz dan kelak menjadi daerah operasi PT Freeport Indonesia.
23 November 1936.
Ekspedisi Colijn dan Jean Jacquez Dozy dari Belanda, berhasil mencapai Carstenz. Mereka kemudian mengumpulkan contoh batuan.
Tahun 1936.
Geolog Dr. C. Shouten menyimpulkan bahwa kawasan Carstenz mengandung tembaga dan emas. Sejak itu nama Ertsberg (gunung bijih) dipakai untuk menyebut kawasan tertinggi di New Guinea itu. Ekspedisi napak tilas dilakukan pada Juni 1960, dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint–berdasar laporan Colijn–seiring dengan pemetaan geologi.
Maret 1966.
Soeharto dan pemerintah Orde Baru mulai menggenjot masuknya modal asing dengan berbagai deregulasi baru. Prof. M. Sadli, Menteri Pertambangan, mengumumkan pemberian konsesi kepada Freeport Mc Moran di Irian, dengan alasan merekalah satu-satunya yang lebih dulu meminta konsesi di kawasan itu.
Juni 1966.
Tim Freeport datang ke Jakarta untuk memprakarsai suatu pembicaraan untuk mewujudkan kontrak pertambangan di Ertsberg. Orang yang dipilih sebagai negosiator dan kelak menjadi presiden Freeport Indonesia (FI) adalah Ali Budiardjo, yakni mantan sekjen Hankam dan direktur Bappenas tahun 1950-an.
5 April 1967.
Kontrak kerja (KK) I ditandatangani dan membuat Freeport menjadi perusahaan satu-satunya yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg seluas 10 kilometer persegi. KK I ini lamanya 30 tahun. Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi. Bulan Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai.
Desember 1969.
Studi kelayakan proyek selesai dan disetujui. Mei 1970, konstruksi keseluruhan proyek mulai dikerjakan. Teknologi rekayasa FCX di remote area tertinggi di Asia Tenggara ini mengundang decak kagum tersendiri karena tingkat kesulitannya sangat tinggi.
Desember 1972.
Pengapalan 10.000 ton tembaga dari tambang Ertsberg dilakukan untuk pertama kalinya ke Jepang.
Maret 1973.
Presiden Soeharto meninjau daerah operasi Freeport dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru Freeport.
Tahun 1974.
Sepanjang 1972 sampai 1973 terjadi beberapa perkelahian yang mengakibatkan terbunuhnya karyawan Freeport, hingga memaksa mereka membuat ”January Agreement” dengan warga desa Wa-Amungme untuk membangun sekolah dan fasilitas umum lainnya.
Juli 1976
Pemerintah Indonesia mendapat bagian saham sebesar 8,5% dari saham Freeport. Angka ini hingga 1998 bertahan di level 10 persen dan royalti satu persen.
April 1981.
Ertsberg Timur mulai ditambang dan produksi FI mencapai 16.000 ton per hari sebelum cadangan Grasberg ditemukan.
28 Januari 1988.
Dugaan deposit emas di kawasan Grasberg menunjukkan hasil positif. Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Menurut Yuli Ismartono–pejabat public relations FI–setiap hari dalam tahun 1988 kira-kira dua juta lembar saham FCX terjual.
Dengan tambahan cadangan emas di Grasberg dan cadangan lainnya, jumlah depositnya diperkirakan mencapai jumlah 200 juta ton. Dalam laporan studi evaluasi lingkungan (SEL) 160 K yang disetujui pada 1994, total deposit yang ada meningkat hingga dua miliar ton.
30 Desember 1991.
KK I berakhir dan Freeport memperoleh kembali KK II selama 30 tahun. Bagi banyak orang, KK II ini berlangsung tidak transparan, bahkan tertutup. Anehnya, pemerintah yang ditawari untuk memperbesar sahamnya menyatakan tidak berminat, padahal perusahaan ini jelas-jelas menguntungkan.
Mulai saat itu, masuklah pengusaha nasional Aburizal Bakrie (Bakrie Grup). ”Kami sudah menawarkan, tapi hanya Bakrie yang datang,” kata James Moffet, Preskom Freeport berbasa-basi. Preskom. Belakangan masuk Bob Hasan (Nusamba), yang dikenal sebagai kroni Soeharto, dan Menaker kabinet Soeharto, Abdul Latief (A Latief Corp.)
22 Agustus – 15 September 1995
Komnas HAM melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di daerah Timika dan sekitarnya. Kesimpulan anggota tim investigasi Komnas HAM, mengungkapkan bahwa selama 1993-1995 telah terjadi 6 jenis pelanggaran HAM, yang mengakibatkan 16 penduduk terbunuh dan empat orang masih dinyatakan hilang. Pelanggaran ini dilakukan baik oleh aparat keamanan FI maupun pihak tentara Indonesia.
17 Januari 1996
Dalam selembar surat jawaban kepada editor American Statement, Ralph Haurwitz, Atase Penerangan Kedubes Amerika Serikat di Jakarta Craig J. Stromme menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti yang dapat dipercaya atas tuduhan pelanggaran HAM oleh Freeport di Irian Jaya.
29 April 1966
Gugatan Tom Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (Lemasa) terdaftar di pengadilan Louisiana, markas besar FCX, dengan kasus no.96-1474. Belakangan, gugatan ini ditolak dan pengadilan menyatakan Freeport tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.
29 Juni 1996
Lemasa menolak dana sebesar 1 persen keuntungan Freeport (US$ 15 juta) yang rencananya diberikan kepada suku di daerah operasi Freeport. Penolakan juga datang dari gereja setempat.
30 September 1997
Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, melalui Bapedal, selesai memeriksa dan menyetujui laporan Amdal Regional untuk perluasan kegiatan penambangan dan peningkatan kapasitas produksi Freeport hingga 300.000 ton per hari.
Tetapi Walhi yang ikut dalam komisi itu menyatakan tidak setuju : “Atmosfer pertemuan itu kental dengan bau politis, sementara banyak anggota komisi sebenarnya tidak setuju dengan perluasan itu, tapi tak kuasa menolak,” kata Emmy Hafid, Direktur Walhi.
11 Maret 1998
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dalam pemandangan umumnya pada Sidang Umum MPR 1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.
5 November 1998
Direktur PT Freeport Indonesia, Jim “bob” Moffett datang ke Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menjelaskan dugaan KKN di Freeport, termasuk perpanjangan KK II yang tertutup dan diduga sarat KKN. “Tidak ada KKN di Freeport, dan tidak adil kalau Anda menyuruh saya juga mengurusi masalah pembagian keuntungan. Saya bukan orang pemerintahan,“ kata Jim Moffet dalam jumpa persnya seusai menghadap Kejagung.
Tahun 2002
Keterlibatan salah seorang prajurit TNI dalam kasus penyerangan bus karyawan Freeport di Timika
September 2008
Freeport menciutkan target produksi tembaga dan emas tahun 2008 ini lantaran ada gangguan teknis di lokasi penambangan Grasberg, Papua. Awalnya, Freeport mematok produksi tembaga 1,2 miliar pounds dan emas 1,3 juta ounce. Karena gangguan ini, produksi dibuat lebih mini, tembaga 1,1 miliar pounds dan emas 1,1 juta ounc.
11 Desember 2008
Freeport memecat 75 karyawan, Freeport melakukan efisiensi dari sisi jumlah karyawan untuk mengurangi sedikit biaya operasional perusahaan, sebagai imbas dari resesi ekonomi dunia.


PENGEKSPLOITASIAN TAMBANG EMAS





Minggu, 17 April 2011

THE MOTIVATION FIGHT FOR FREEDOM

FREE WEST PAPUA


THE MOTIVATION FIGHTING FOR FREEDOM
& THE INSPIRATION FOR ALL ACTIVIST POLICAL
FOR  INDEPENDENCE OF WEST PAPUA

tentang blog ini:

Blog ini berisi artikel-artikel & pictures yang menumbuhkan semangat 
Nasionalisme Rakyat Papua Barat,dan membuat kita semua berpikir ulang tentang Perjuangan 
dan Perlawanan Rakyat Papua Barat untuk keluar dari bingkai New
Colonial Indonesia ini.
dengan demikian  materi dan pictures yang ada di blog ini
tentang perjuang Rakyat Papua .kita
kemarin, sekarang dan yang akan datang.
Maka silakan simak di blog ini dengan seksama.

Sebab blog ini menceriterakan tentang Penjajahan, penindasan,

perampasan, penculikan,pembunuhan, pemerkosaan, pemenjarakan
, pengisapan,yang di lakukanoleh;
\Bangsa New Colonial  Indonesia & oleh Bangsa Kapitalis Dunia (America Serikat)
terhadap Tanah Papua dan Rakyat Papua Barat.

Jumat, 15 April 2011

TOKOH PEJUANG REVOLUSI PAPUA BARAT

Mr.Benny Wenda Tokoh Pejuang Revolusi Papua Barat


About West Papua
West Papua MapWest Papua is the western half of the island of New Guinea. It borders the independent state of Papua New Guinea and lies just 250km north of Australia.

Swathed in tropical rainforest which is second in size only to those of the Amazon, it is home to many unique species of wildlife including tree kangaroos and beautiful birds of paradise. It is also one of the world’s most resource rich areas containing huge reserves of oil, gas, copper, gold and timber.

The indigenous population number about 1 million Melanesian Papuans, many of whom still live subsistence or hunter gatherer tribal lifestyles. The diverse tribes of New Guinea speak some 15% of the world’s known languages, despite having less than 3% of the world's population.

A Bit of History

Previously a Dutch colony along with the islands that now make up Indonesia, West Papua remained under Dutch control when the Republic of Indonesia became an independent nation state in 1949. The Dutch government began preparing West Papua for independence throughout the 1950s. At the end of 1961, West Papua held a Congress at which its people declared independence, and raised their new flag - the Morning Star,
Within months the dream was dead: the Indonesian military invaded West Papua and conflict broke out between the Netherlands, Indonesia and the indigenous population regarding control of the country. The US intervened and engineered an agreement between Indonesia and the Netherlands, which in 1962 gave control of West Papua to the United Nations and one year later transferred control to Indonesia. The Papuans were never consulted. However, the agreement did promise them their right to self determination - a right which is guaranteed by the UN to everyone on Earth.

Act of No Choice

By 1969 there was widespread resistance to Indonesian rule. The Indonesian military had killed and imprisoned thousands of Papuans in the seven years it had occupied the country - yet it was under these conditions that the people were supposed to exercise their right to self determination. It was agreed that the UN should oversee a plebiscite of the people of West Papua, in which they would be given two choices: to remain part of Indonesia or to become an independent nation once again. This vote was to be called the 'Act of Free Choice.'
But the Act was a sham. Instead of overseeing a free and fair election, the UN stood by while Indonesia rigged the vote. Declaring that the Papuans were too 'primitive' to cope with democracy, the Indonesian military hand-picked just 1,026 'representative' Papuans - out of a population of one million - threatened to kill them and their families if they voted the wrong way, and then told them to choose. The result was 'unanimous': West Papua would remain part of Indonesia. Despite protests from the Papuans, a critical report by a UN official and condemnation of the vote in the international media the UN shamefully sanctioned the result and West Papua has remained under control of the Indonesian state ever since.
The Papuans call this referendum the 'Act of No Choice'.

The People and Land Under Attack

Since the first days of Indonesian occupation, the people and land of West Papua have been under relentless attack. In order to maintain control over the Papuans, and to claim the land to make way for resource extraction, the Indonesian army has systematically murdered, raped and tortured people in numbers that could constitute a genocide. One of the worst examples of this is the displacement and killing of thousands of people to make way for the giant American- and British-owned Freeport mine, the largest gold mine in the world, which has reduced a sacred mountain to a crater and poisoned the local river system. Also, in a further attempt to dominate Papuan culture, around one million people from overcrowded shanty towns across Indonesia have been moved into 'transmigration' camps cut into the forests.

Resistance to Indonesian Colonialism

Resistance to the Indonesian occupation started from the first days of occupation. An armed guerrila group called the OPM ('Free Papua Movement') was formed in 1970 to resist the colonisation of West Papua. The OPM  carried out a number of guerrilla attacks on the Indonesian military and on the holdings of multinational companies who had taken Papuan land and resources - including a successful attempt to close down the down the Freeport gold and copper mine. Armed mostly with bows and arrows, the small, ragged but determined OPM fought an almost unknown war against the well-armed, Western-backed Indonesian military for decades.

Recent Years

Following the fall of the Indonesian's military dictator, General Suharto, in 1998, a political space briefly opened up in West Papua. The Morning Star flag was flown again and a huge public congress was held in 2000 with hundreds of delegates from tribes all across Papua. The Congress rejected the result of the 1969 Act of Free Choice and reaffirmed West Papua as an independent nation. It also gave power to the newly formed Papuan Presidium Council (PDP) to gain world recognition for West Papua’s independence. The OPm declared a ceasefire,and it was hoped that Indonesia would agree to peaceful talks with Papuan leaders about independence.
But these hopes were, yet again, in vain.  Fearing 'secession', the army moved in, and hundreds of people were shot and arrested for public flag-raisings and independence rallies. Then, in November 2001, the charismatic president of the PDP Theys Eluay, was assassinated by Indonesian soldiers.
At the beginning of 2004, Indonesia set their agenda for the future by installing former East Timor police chief Timbil Silaen as new police chief in Papua and at the same time allowing notorious East Timor militia leader Eurico Guterres to set up operations in the highland town of Wamena where he is openly recruiting people to his pro Indonesia militias. Both of these people have been implicated in the massacres that swept East Timor in 1999 after it declared indepence from Indonesia.
Today, West Papua's tragedy continues. Though the majority of Papuan people are united in calling peacefully for independence, through a number of organisations including the PDP, the Alliance of Papuan Students (AMP), and Demmak, a pan-tribal coalition, the Indonesian military and authorities continue their reign of terror. Recent events have included the burning of highland villages by Indonesian soldiers - resulting in 6000 internal refugees still living in temporary camps in the forest - the shooting and beating of protesters calling for the Freeport mining company to leave the country, and the jailing of two men for ten and fifteen years for the 'crime' of raising the Morning Star flag in public.

But there is good news too. The issue of West Papua is creeping up the international agenda, as campaign groups, Papuan leaders-in-exile and concerned people all over the world alert their leaders to the injustice that is happening in West Papua. Media outlets and politicians are waking up to the issue. Things are moving in the right direction - but they need to move faster if more bloodshed is to be avoided, and the people of West Papua are finally to be given a political voice.

You can help it happen - support the Free West Papua Campaign!
 

FIGHT TO HARD FOR FREEDOM WP

SELURUH MAHASISWA/I REVOLUSIONER PAPUA BARAT YANG BERKOTA STUDY DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MELAKUKAN DEMO MIMBAR BEBAS TENTANG TUNTUTAN BAGI KEMERDEKAAN BANGSA PAPUA BARAT DARI PENJAJAHAN NEW COLONIAL INDONESIA DI DEPAN ASRAMA PAPUA KAMASA  SATU (1) YOGYAKARTA
*MARNESTHO WENDA

*FICGY F.YEIMO  

*WIM  W SAMBOM

DEMO LONG MARCH  MULAI STAR DARI BUNDARAN UGM SAMPAI TITIK FINISNYA DI  ALUN-ALUN UTARA YOGYAKARTA TUNTUTANNYA;

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERAH MEMBUKA RUANG DEMOKRASI BAGI RAKYAT BANGSA PAPUA BARAT.

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERA TARIK PASUKAN BAIK ITU ORGANIK MAUPUN NON ORGANIK DARI TANAH PAPUA BARAT

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERA MENGEMBALIKAN STATUS POLITIC PAPUA 1961 KEPADA RAKYAT PAPUA BARAT.

* PEMERINTAH INDONESIA SEGERAH REVIEW PEPERA 1969 KARENA CACAT HUKUM

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERA TUTUP PT.FREEPORT INDONESIA DARI TANAH PAPUA BARAT.

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERA STOP PENGIRIMAN TRANSMIGRASI KE TANAH PAPUA.

*TNI/POLRI BIN BAIS DAN SEBAGAINYA STOP MELAKUKAN PEMBUNUHAN, 
PEMERKOSAAN, INTIMIDASI, TERROR, TERHADAP RAKYAT PAPUA BARAT.

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERA STOP PENGIRIMAN WTS/PSK  KE TANAH PAPUA

*PEMERINTAH INDONESIA SEGERA TUTUP KANTOR KB DI TANAH PAPUA.

DAN BERBAGAI TUNTUTAN LAINNYA TERHADAP BANGSA NEW COLONIA INDONESIA. 




PARA DEMONSTRATION YOGYAKARTA MELAKUKAN DEMO LONG MARCH SAMBIL MENYERUHKAN YEL-YEL PERLAWANAN TERHADAP BANGSA NEW COLONIAL INDONESIA
PADA SAAT DEMO DI YOGYAKARTA SEORANG REVOLUSIONER  IA MEMAKAI PAKAIN TRADISIONAL PAPUA DAN MELAKUKAN SEBUAH PERLAWANAN TERHADAP BANGSA COLONIAL INDONESIA
DI SINILAH ISTANAHKU DAN DISINIPULAH  TEMPAT PERTAMA KALI KAMI MELAKUKAN PERTEMUAN  TENTANG FIGHT FOR FREEDOM WEST PAPUA DAN KAMI MEMBENTUK SATU IDEOLOGI  UNTUK MELAKUKAN SEBUAH PERLAWANAN TERHADAP BANGSA COLONIAL INDONESIA